Istilah "revolusi perkotaan" pertama kali dicetuskan oleh Gordon Childe tahun 1936. Dia mengemukakan tentang proses amat perkasa yang mengubah lingkungan masyarakat pertanian, yang serba sederhana, menjadi pusat- pusat perkotaan yang amat kompleks.
Digambarkannya tentang kota Memphis di Mesir pada 3100 SM sebagai kota terbesar di dunia saat itu berpenduduk hanya sekitar 30.000 jiwa. Saat ini kawasan metropolitan Kairo dihuni lebih dari 17 juta jiwa dan menghadapi aneka masalah yang sama sekali tak terduga sebelumnya. Masalah yang paling dahsyat yang dihadapi Kairo dan kota-kota raya lain di dunia, tidak terkecuali Jakarta, terutama sekali masalah sosial. Kemiskinan, kesenjangan, lapangan kerja, kesehatan dan kesejahteraan warga memusingkan pengelola kotanya.
Namun, yang juga tidak kalah penting adalah perkara degradasi lingkungan. Misalnya menyangkut penyediaan air bersih dan energi, pengelolaan sampah, penanggulangan pencemaran lingkungan dan konsumsi serta produksi makanan. Jadi, tidak sekadar perkara banjir dan kemacetan lalulintas sebagaimana lazim dipersepsikan orang banyak. Memang tak terlalu salah karena itulah yang paling tampak, kasatmata, teraga. Namun itu jelas sangat tak lengkap karena sebetulnya jauh lebih banyak masalah nir-teraga alias tidak tampak.
Kiranya sudah tiba saatnya diproklamasikan "revolusi perkotaan" jilid kedua. Tujuan utama dari revolusi ini adalah seperti yang dikemukakan Mark McDonnel, Direktur Pusat Penelitian Ekologi Perkotaan dari Universitas Melbourne, " we want healthy liveable sustainable and resilience cities and towns." Ya, kita sungguh menginginkan terciptanya kota-kota yang sehat, nyaman huni dan berketahanan di masa datang.
Kunci utama untuk mencapai tujuan mulia tersebut adalah melalui penerapan prinsip-prinsip ekologi dalam pengelolaan perkotaan. Kota tidak boleh hanya di lihat dan diperlakukan sebagai entitas tunggal yang statis, tetapi sebagai satu elemen saja dari mozaik lanskap yang dinamik, multidimensi, dalam suatu sistem urban region.
Guna mencegah dan menangkal terjadinya tsunami perkotaan, perencanaan dan pembangunan kota jakarta maupun kota raya dan kota besar lain di Tanah Air, teori dan konsep ekologi perkotaan mesti mulai diterapkan secara konsisten. Interaksi antara jasad hidup ( organisme), struktur terbangun (bangunan, jalan, jembatan) dan lingkungan fisik ( tanah, air, udara, energi) mesti saling dipertautkan secara holistik.
Metafora, simbol-simbol dan slogan-slogan seperti "kota sebagai organisme", "kota sebagai alam kedua", "kota sebagai sistem kehidupan", "kota sebagai panggung kenangan", yang populer dikalangan para perencana kota seyogyanya diterjemahkan dalam wujud perencanaan dan perancamgan yang lebih spesifik dan membumi. Tak berhenti sebagai slogan utopian seperti janji para politisi busuk. Dari kacamata ilmu perencanaan wilayah dan pembangunan kota, paling tidak ada lima kelompok fitur ekologis yang wajibdiperhatikan.
Pertama, tanah perkotaan menyangkut tekstur dan sifat tanah, kehidupan yang terkandung di dalamnya dan lahan bawah perkotaan. Kedua, sistem tata air perkotaan, menyangkut siklus aliran air, penyediaan air bersih, pembuangan air kotor dan air bawah tanah. Ketiga, badan air perkotaan meliputi dam, waduk, bendungan, embung, sungai dan kawasan pantai. Keempat, habitat tanaman atau vegetasi, meliputi rerumputan, penutup tanah, semak, pohon, baik yang ditanam di tanah maupun yang tergantung, di depan fasade maupun di atas bangunan. Kelima, fauna perkotaan, meliputi jenis-jenis binatang, pola kehidupannya dan adaptasinya.
Kita bisa belajar banyak dari kota-kota modern di negara maju seperti Melbourne. Penerapan Melbourne Principles yang dilandasi kaidah ekologi perkotaan dalam pembangunannya terbukti sangat menyejahterakan dan membahagiakan warganya.
Disadur dari tulisan EKO BUDIHARDJO,Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro dan Universitas Trisakti; Ketua Komisi Kebudayaan AIPI
TSUNAMI PERKOTAAN
Istilah "revolusi perkotaan" pertama kali dicetuskan oleh Gordon Childe tahun 1936. Dia mengemukakan tentang proses amat perkasa yang mengubah lingkungan masyarakat pertanian, yang serba sederhana, menjadi pusat- pusat perkotaan yang amat kompleks.
Digambarkannya tentang kota Memphis di Mesir pada 3100 SM sebagai kota terbesar di dunia saat itu berpenduduk hanya sekitar 30.000 jiwa. Saat ini kawasan metropolitan Kairo dihuni lebih dari 17 juta jiwa dan menghadapi aneka masalah yang sama sekali tak terduga sebelumnya. Masalah yang paling dahsyat yang dihadapi Kairo dan kota-kota raya lain di dunia, tidak terkecuali Jakarta, terutama sekali masalah sosial. Kemiskinan, kesenjangan, lapangan kerja, kesehatan dan kesejahteraan warga memusingkan pengelola kotanya.
Namun, yang juga tidak kalah penting adalah perkara degradasi lingkungan. Misalnya menyangkut penyediaan air bersih dan energi, pengelolaan sampah, penanggulangan pencemaran lingkungan dan konsumsi serta produksi makanan. Jadi, tidak sekadar perkara banjir dan kemacetan lalulintas sebagaimana lazim dipersepsikan orang banyak. Memang tak terlalu salah karena itulah yang paling tampak, kasatmata, teraga. Namun itu jelas sangat tak lengkap karena sebetulnya jauh lebih banyak masalah nir-teraga alias tidak tampak.
Kiranya sudah tiba saatnya diproklamasikan "revolusi perkotaan" jilid kedua. Tujuan utama dari revolusi ini adalah seperti yang dikemukakan Mark McDonnel, Direktur Pusat Penelitian Ekologi Perkotaan dari Universitas Melbourne, " we want healthy liveable sustainable and resilience cities and towns." Ya, kita sungguh menginginkan terciptanya kota-kota yang sehat, nyaman huni dan berketahanan di masa datang.
Kunci utama untuk mencapai tujuan mulia tersebut adalah melalui penerapan prinsip-prinsip ekologi dalam pengelolaan perkotaan. Kota tidak boleh hanya di lihat dan diperlakukan sebagai entitas tunggal yang statis, tetapi sebagai satu elemen saja dari mozaik lanskap yang dinamik, multidimensi, dalam suatu sistem urban region.
Guna mencegah dan menangkal terjadinya tsunami perkotaan, perencanaan dan pembangunan kota jakarta maupun kota raya dan kota besar lain di Tanah Air, teori dan konsep ekologi perkotaan mesti mulai diterapkan secara konsisten. Interaksi antara jasad hidup ( organisme), struktur terbangun (bangunan, jalan, jembatan) dan lingkungan fisik ( tanah, air, udara, energi) mesti saling dipertautkan secara holistik.
Metafora, simbol-simbol dan slogan-slogan seperti "kota sebagai organisme", "kota sebagai alam kedua", "kota sebagai sistem kehidupan", "kota sebagai panggung kenangan", yang populer dikalangan para perencana kota seyogyanya diterjemahkan dalam wujud perencanaan dan perancamgan yang lebih spesifik dan membumi. Tak berhenti sebagai slogan utopian seperti janji para politisi busuk. Dari kacamata ilmu perencanaan wilayah dan pembangunan kota, paling tidak ada lima kelompok fitur ekologis yang wajibdiperhatikan.
Pertama, tanah perkotaan menyangkut tekstur dan sifat tanah, kehidupan yang terkandung di dalamnya dan lahan bawah perkotaan. Kedua, sistem tata air perkotaan, menyangkut siklus aliran air, penyediaan air bersih, pembuangan air kotor dan air bawah tanah. Ketiga, badan air perkotaan meliputi dam, waduk, bendungan, embung, sungai dan kawasan pantai. Keempat, habitat tanaman atau vegetasi, meliputi rerumputan, penutup tanah, semak, pohon, baik yang ditanam di tanah maupun yang tergantung, di depan fasade maupun di atas bangunan. Kelima, fauna perkotaan, meliputi jenis-jenis binatang, pola kehidupannya dan adaptasinya.
Kita bisa belajar banyak dari kota-kota modern di negara maju seperti Melbourne. Penerapan Melbourne Principles yang dilandasi kaidah ekologi perkotaan dalam pembangunannya terbukti sangat menyejahterakan dan membahagiakan warganya.
Disadur dari tulisan EKO BUDIHARDJO,Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro dan Universitas Trisakti; Ketua Komisi Kebudayaan AIPI
Istilah "revolusi perkotaan" pertama kali dicetuskan oleh Gordon Childe tahun 1936. Dia mengemukakan tentang proses amat perkasa yang mengubah lingkungan masyarakat pertanian, yang serba sederhana, menjadi pusat- pusat perkotaan yang amat kompleks.
Digambarkannya tentang kota Memphis di Mesir pada 3100 SM sebagai kota terbesar di dunia saat itu berpenduduk hanya sekitar 30.000 jiwa. Saat ini kawasan metropolitan Kairo dihuni lebih dari 17 juta jiwa dan menghadapi aneka masalah yang sama sekali tak terduga sebelumnya. Masalah yang paling dahsyat yang dihadapi Kairo dan kota-kota raya lain di dunia, tidak terkecuali Jakarta, terutama sekali masalah sosial. Kemiskinan, kesenjangan, lapangan kerja, kesehatan dan kesejahteraan warga memusingkan pengelola kotanya.
Namun, yang juga tidak kalah penting adalah perkara degradasi lingkungan. Misalnya menyangkut penyediaan air bersih dan energi, pengelolaan sampah, penanggulangan pencemaran lingkungan dan konsumsi serta produksi makanan. Jadi, tidak sekadar perkara banjir dan kemacetan lalulintas sebagaimana lazim dipersepsikan orang banyak. Memang tak terlalu salah karena itulah yang paling tampak, kasatmata, teraga. Namun itu jelas sangat tak lengkap karena sebetulnya jauh lebih banyak masalah nir-teraga alias tidak tampak.
Kiranya sudah tiba saatnya diproklamasikan "revolusi perkotaan" jilid kedua. Tujuan utama dari revolusi ini adalah seperti yang dikemukakan Mark McDonnel, Direktur Pusat Penelitian Ekologi Perkotaan dari Universitas Melbourne, " we want healthy liveable sustainable and resilience cities and towns." Ya, kita sungguh menginginkan terciptanya kota-kota yang sehat, nyaman huni dan berketahanan di masa datang.
Kunci utama untuk mencapai tujuan mulia tersebut adalah melalui penerapan prinsip-prinsip ekologi dalam pengelolaan perkotaan. Kota tidak boleh hanya di lihat dan diperlakukan sebagai entitas tunggal yang statis, tetapi sebagai satu elemen saja dari mozaik lanskap yang dinamik, multidimensi, dalam suatu sistem urban region.
Guna mencegah dan menangkal terjadinya tsunami perkotaan, perencanaan dan pembangunan kota jakarta maupun kota raya dan kota besar lain di Tanah Air, teori dan konsep ekologi perkotaan mesti mulai diterapkan secara konsisten. Interaksi antara jasad hidup ( organisme), struktur terbangun (bangunan, jalan, jembatan) dan lingkungan fisik ( tanah, air, udara, energi) mesti saling dipertautkan secara holistik.
Metafora, simbol-simbol dan slogan-slogan seperti "kota sebagai organisme", "kota sebagai alam kedua", "kota sebagai sistem kehidupan", "kota sebagai panggung kenangan", yang populer dikalangan para perencana kota seyogyanya diterjemahkan dalam wujud perencanaan dan perancamgan yang lebih spesifik dan membumi. Tak berhenti sebagai slogan utopian seperti janji para politisi busuk. Dari kacamata ilmu perencanaan wilayah dan pembangunan kota, paling tidak ada lima kelompok fitur ekologis yang wajibdiperhatikan.
Pertama, tanah perkotaan menyangkut tekstur dan sifat tanah, kehidupan yang terkandung di dalamnya dan lahan bawah perkotaan. Kedua, sistem tata air perkotaan, menyangkut siklus aliran air, penyediaan air bersih, pembuangan air kotor dan air bawah tanah. Ketiga, badan air perkotaan meliputi dam, waduk, bendungan, embung, sungai dan kawasan pantai. Keempat, habitat tanaman atau vegetasi, meliputi rerumputan, penutup tanah, semak, pohon, baik yang ditanam di tanah maupun yang tergantung, di depan fasade maupun di atas bangunan. Kelima, fauna perkotaan, meliputi jenis-jenis binatang, pola kehidupannya dan adaptasinya.
Kita bisa belajar banyak dari kota-kota modern di negara maju seperti Melbourne. Penerapan Melbourne Principles yang dilandasi kaidah ekologi perkotaan dalam pembangunannya terbukti sangat menyejahterakan dan membahagiakan warganya.
Disadur dari tulisan EKO BUDIHARDJO,Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro dan Universitas Trisakti; Ketua Komisi Kebudayaan AIPI